NEGERI yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah ini ternyata masih ditempati oleh orang-orang yang kesulitan mendapat pekerjaan. Sempitnya lapangan pekerjaan di negeri ini membuat orang-orang rela hengkang dari negerinya demi menafkahi orang tercinta.
Tidak hanya itu. Mereka yang lulusan sarjana pun tidak sedikit yang rela menanggalkan jubah sarjananya dan memilih melakukan pekerjaan apa pun asalkan halal. Ini menunjukan bahwa bekerja bagi mereka adalah keharusan. Lalu bagaimana Islam memandang aktivitas bekerja ini?
Dalam Islam, bekerja bukan hanya persoalan duniawi, tapi juga ukhrowi. Islam menghargai pekerjaan atau usaha (halal) sekecil apa pun. Bahkan mereka yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan hasilnya digunakan di jalan Allah, maka ia disejajarkan dengan mujahid fii sabilillah.
“Sesungguhnya, Allah menyukai hamba yang berkarya dan terampil. Barangsiapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, ia setara dengan seorang mujahid yang berjuang di jalan Allah Azza wa Jalla,” (HR. Ahmad)
Bekerja ternyata tidak hanya menghasilkan nafkah materi, Jika dalam menjalani pekerjaan kita tetap memegang teguh ajaran Allah dan Rasul Nya, maka kita akan mendapat pahala juga maghfiroh dari Allah.
Dalam sebuah riwayat, sahabat Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari menuturkan bahwa Rasulullah SAW setelah pulang dari perang tabuk, beliau melihat tangan Sa’ad melepuh. Kulitnya gosong dan kehitam-hitaman karena diterpa teriknya sengatan matahari. “Kenapa tangan mu,?” tana Rasulullah SAW. “Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini, demi mencari nafkah untuk keluarga,” jawab Sa’ad. Seketika Rasulullah meraih dan mencium tangan Sa’ad seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak pernah disentuh api neraka,” (HR. Thabrani)
Sejarah mencatat, Rasul dan para sahabat pun pekerja. Rasulullah dikenal sebagai pedagang sukses. Beliau tidak hanya sukses membawa keuntungan materi tetapi berhasil mengembangkan paradigma baru ditengah praktik bisnis yang kotor.
Etos kerja juga dicontohkan oleh Imam Hanafi. Kita tahu bahwa Imam Hanafi adalah ulama besar yang ilmunya juga tidak sedikit. Akan tetapi di tengah kesibukannya memperdalam dan menyebarkan ilmu, ia juga bekerja (berdagang).
Imam Hanafi mengatakan bahwa bekerja bukanlah sesuatu yang hina, tapi mulia di sisi Allah dan Rasulnya. Karena sebagian dari nabi-nabi Allah ada yang menjadi pengembala, petani, tukang pandai besi, dan juga ada yang berprofesi sebagai pedagang.
Dalam pandangan Islam, seorang Muslim dalam mencari rezeki dinilai oleh Allah SWT sebagai pahala. Bahkan menjadi penebus dosa. “Barangsiapa pada malam harinya merasa kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah SWT,” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk malas atau bahkan tidak bekerja sama sekali. Jika dengan bekerja kita mendapat keutamaan yang begitu banyak, maka tidak melakukannya adalah sebuah kerugian. Mari beribadah dengan bekerja. Karena bekerja juga ibadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar